”Gmn. Kapan kamu nyusul?” Tanya temanku yang terlebih dulu menikah
ketimbang aku. Saat ini dia tengah mengandung 4 bulan kehamilannya, aku datang
untuk menjalin silaturahmi sekaligus menengok keadaannya yang tengah hamil.
”Insya’allah segera” Jawabku
”Sudah ada calonnya ta?” Tanya temanku
”Alhamdulillah sudah” Jawabku.
”Hah? Iya ta? Berarti sudah lamaran dong?” Ujar temanku penuh antusias
”Alhamdulillah sudah” Jawabku santai sambil tersipu.
”Coba liat mana tanda ikatannya?” Ujarnya sambil melirik jari-jariku.
”Ikatan?” Tanyaku sambil berpikir. Karena tadi kan hanya ditanya calon, kok
sekarang tanya tanda ikatan? Emangnya aku salah tangkep ya? Kan baru calon
karena baru lamaran bukan nikahan kok tanya ikatan?
”Iya. Lihat cincinnya” Sembari meraih tanganku. Dilihatnya jemari tanganku
masih bersih (maksudnya bersih dari perhiasan cincin).
Sahabatku melongo. ”Mana? Katanya habis lamaran. Kok cincinnya nggak
dipake?”
”Memangnya perlu pakai cincin?” Tanyaku dengan polosnya. ”Buat apa ya pakai
cincin?” pikirku.
”Yah. Namanya juga tunangan, pasti tukar cincin dong. Sebagai tanda ikatan
kalo udah punya calon.”
”O begitu. Aku nggak pake
cincin2an” Ujarku agak meringis.
Temanku yang awalnya begitu antusias mendengarku telah lamaran, jadi tidak
begitu bersemangat lagi.
“Lalu, dapet orang mana?” Tanya dia
Lagi-lagi aku tak dapat menjawab.
”Itu aku masih merahasiakan. Sudah perjanjian dengan masnya.”
”O. Aku kenal nggak ma orangnya?”
”Wah. Kalo itu aku tak tau. Kenal apa nggak”
”Ya iyalah. Wong nggak dikasihtau orangnya siapa?”
Agak nggak enak juga percakapannya. Akhirnya aku pamit pulang.
Di perjalanan aku berpikir2 lagi.
Jangan-jangan temanku tadi mengira aku Cuma membual karena hanya memberi
informasi Cuma setengah-setengah. Hmmm....
Lalu beberapa waktu kemudian aku ditanya lagi oleh temanku yang lain dengan
pertanyaan yang hampir sama. Masalah keberadaan cincin dan identitas calonku.
Hati ini lama-lama nggak enak karena prasangka dari sana-sini.
Diam dan sabar. Mungkin itulah yang bisa aku lakukan saat ini sebelum semua
terbuka pada saat yang tepat. Maafkan aku kawan-kawan atas ketidakterbukaanku.
Meskipun terkadang aku berpikir kenapa harus dirahasiakan. Dan ini pun tidak
membutuhkan waktu yang pendek. Kecuali bila hanya 1-2 bulan aku akan tahan.
Tapi 3-4 bulan ke depan bagaimana. Sedangkan bila setiapkali ditanya teman2ku
aku tak bisa berbohong (hanya bisa menutupi semampuku), aku tak bisa berbohong
karena jodoh adalah rejeki Allah SWT, bila terlihat aku menyangkal rejeki itu
bukanlah hal yang baik.
Pada saat membalas lamaran (keluarga pihak perempuan datang ke keluarga
pihak laki-laki), seolah menjawab semua pertanyaanku tentang keberadaan cincin
di jemariku, papaku dengan tegas menyatakan bahwa ”di keluarga kami tidak
mengenal yang namanya tukar cincin. Saya sebagai bapaknya nggak ridho bila anak
perempuan saya yang belum menjadi haknya orang lain, yang mana masih menjadi
tanggungjawab saya sebagai wali menerima cincin ikatan lamaran. Karena dengan
adanya cincin ini saya khawatirkan akan menjadi simbol ikatan dua orang yang
belum menikah secara sah yang mana bisa disalahgunakan untuk kepentingan bahwa
dia adalah miliknya. Padahal masih dalam tanggungjawab walinya yaitu saya. Saya
ingin menjaga baik2 putri saya. Jadi saya tidak ingin ada ikatan apapun sebelum
pernikahan sah.”
Ya, jawaban inilah yang aku inginkan. Terimakasih pa. Akhirnya aku mantap.
Jadi penghargaan sesungguhnya bukan karena keberadaan cincin di jari manis.
Tapi penjagaan harga diri perempuan itu sendiri dalam menjaga diri dan
kehormatannya karena belum sah menjadi milik orang lain. Jadi sebagai perempuan
harus pintar2 waspada dan menjaga diri.
0 komentar:
Posting Komentar